Tradisi Lisan

Sastra Buleng, Tradisi Lisan Betawi Pesisir

Foto: jakita.jakarta.go.id

Masyarakat Betawi pesisir yang juga disebut Betawi pinggiran punya tradisi unik yaitu bernama Buleng. Sebuah tradisi lisan yang perlu dilestarikan keberadaannya, karena merupakan bagian tak terpisahkan dari warisan budaya lokal.

Tak seperti Sohibul Hikayat yang populer, Buleng merupakan salah satu karya sastra lisan Betawi yang jarang dikenal publik. Sastra Buleng, atau yang sering disebut ngebuleng, merupakan cerita lisan yang memiliki kekhasan bahasa Betawi pesisir bercampur bahasa Sunda dan Jawa.

Pelestari tradisi lisan Buleng Suaeb Mahbub, mengungkapkan, Buleng atau ngebuleng memang terdengar asing. Tapi, bagi masyarakat Betawi pesisir, ngebuleng sudah menjadi bagian dari tradisi mereka sejak dulu. Ngebuleng atau Buleng berarti cerita atau dongeng yang berisi kehidupan rakyat sehari-hari, baik pada masa lampau, kini, maupun nanti.

Suaeb menceritakan, ngebuleng biasanya dilakukan orang tua atau kakek yang berkisah di depan anak atau cucunya. Tetapi, ada juga tukang ngebuleng yang dipanggil untuk mengisi malam sebelum hajatan.

Kepada JaKita, Suaeb menyatakan, Buleng tidak hanya menghibur warga dengan cerita sederhana rakyat jelata, namun juga sarat pesan dan makna. “Selain menghibur dengan cerita-cerita rakyat seperti legenda Aki Tirem, Si Pitung, atau Lutung Kasarung, saya juga selipkan pesan dan nilai positif dari cerita itu,” ungkap Suaeb di kediamannya di Kampung Marunda Kepu, Jakarta Utara.

Lalu kapan waktu yang tepat untuk ngebuleng? Suaeb menjelaskan, ngebuleng biasa dilakukan sehari jelang acara hajatan Betawi. Sebelum ngebuleng, lanjutnya, ada prosesi malam mangkat, yakni acara warga Betawi melakukan paketan atau memberi/sumbangan sembako dan barang kebutuhan lainnya untuk hajatan.

“Paketan itu seperti arisan dan siapa yang menyumbang nanti akan dikembalikan saat melaksanakan hajatan, jadi gantian,” tutur pria yang sehari-harinya bekerja sebagai nelayan ini.

Ngebuleng diiringi nembang dan efek suara seperti nampan diketok, kaleng, dan lain-lain, atau dengan suara sendiri. Di sela ngebuleng, ada proses ngaso. Setelah itu dilanjut lagi mendongeng hingga selesai.

Tukang Buleng mengekspresikan ceritanya dengan gerakan tangan atau kaki. Kostum saat ngebuleng bisa berupa pakaian jawara dengan ikat kepala khas Betawi dan sarung setengah tiang. Ada juga kostum ngebuleng dengan pakaian sadariah, safari, atau jas tutup.

 

Urutan Ngebuleng

Saat ngebuleng juga ada tata caranya, yakni diawali dengan mantra-mantra bersifat pesan pengingat. Begini mantra yang diucap Suaeb sebelum memulai Buleng yang disebut Nyapun:

“Puun sapuun, minta maap minta ampun mak bapak keruhun. Nenek kakek berunduk-unduk, ada daging mengungsir. Ada daging seumpak-umpak uda kagak. Urung tempurung kapur, urung-urung jadi tumbuhan”

Menurut Suaeb, mantra diperuntukkan sebagai penolak bala dan meminta kepada Tuhan agar semua warga terlindungi dari sakit atau bencana. Kemudian dilanjutkan dengan memulai cerita melalui penyebutan judul cerita dan tema yang diinginkan si empunya hajat. Cerita selesai dituntaskan dengan penyampaian intisari cerita, sekaligus pesan dari ngebuleng tersebut.

Suaeb mengungkapkan, setiap cerita ngebuleng selalu memberikan ilmu dan pesan mendalam untuk warga Betawi. Misalnya, dalam cerita Telaga Warna, Dalem Bandung, dan Ciung Wanara terkandung nilai-nilai kebaikan, keadilan, serta keberanian.

Ia menyayangkan tradisi ngebuleng kini mulai redup. Meski begitu, masih ada sejumlah warga Jakarta yang masih melestarikan tradisi bercerita ini, misalnya di Ciracas, Cijantung, dan Kalimalang, Jakarta Timur. “Di Marunda, ngebuleng tetap terjaga dan dilestarikan,” terangnya.

Suaeb berharap, kekayaan warisan budaya tradisi lisan Betawi pesisir ini bisa hidup. Dengan demikian, Buleng dapat lestari dengan pewarisan kepada generasi mendatang.

 

Sumber: jakita.jakarta.go.id edisi 5 Tahun 2024

Bujaka - Aplikasi Budaya Jakarta

DINAS KEBUDAYAAN PROVINSI DKI JAKARTA
Jalan Gatot Subroto Kav. 40-41 Lt. 11 dan 12
Kelurahan Kuningan Timur, Kecamatan Setiabudi
Jakarta Selatan
DKI Jakarta, 12950
(021) 252-3164
dinaskebudayaandki@gmail.com