Adat Istiadat

Tradisi Masyarakat Betawi Sambut Lebaran Idul Fitri

Tradisi Main Bledugan 
Foto : Ist

Sobat Budaya, masyarakat Betawi dikenal relijius. Persiapan menyambut Idul Fitri bagi masyarakat Betawi, bisa dikatakan telah dilakukan sejak bulan Ramadhan tiba. Mayoritas masyarakat Betawi bergembira menyambut bulan suci Ramadhan, begitu juga ketika Idul Fitri. Tradisi nyekar, nyorog, dari dulu hingga kini masih tetap ada dalam tradisi masyarakat Betawi yang biasanya dilakukan sebelum menjalani ibadah puasa Ramadhan. Di penghujung bulan Sya’ban, biasanya penduduk Betawi berziarah ke makam leluhur sekaligus membersihkannya. Sedangkan tradisi nyorog, merupakan cara orang Betawi untuk menghormati orang tua, maupun sanak keluarga yang memiliki usia jauh di atasnya. Sebelum menjalani ibadah puasa Ramadhan, biasanya kalangan muda akan menghantarkan beragam makanan dan buah-buahan ke orang tua atau orang yang dituakan dalam keluarga.

Sementara tradisi merang atau membersihkan rambut beramai-ramai di kali, kini sudah tidak ada lagi. Dahulu, sehari sebelum berpuasa Ramadhan, anak-anak muda Betawi merayakan kegembiraannya dengan memukul bedug masjid atau bedug yang dibawa menggunakan gerobak dan berkeliling kampung. Pukulan bedug hanya berhenti sesaat dekat waktu sholat. Kala itu suasana ibadah di bulan Ramadhan teramat syahdu dirasakan. Terutama saat malam, hingga menjelang sahur. Selepas sholat tarawih, berlanjut dengan tadarusan di surau, mushola atau masjid. Terlebih ketika puasa Ramadhan sudah melewati pekan kedua. Semangat untuk mencari pahala di malam Lailatul Qadr, dulunya dikenal dengan malam likuran. Yaitu kegiatan ibadah malam bulan Ramadhan, di mana mayoritas umat muslim di Betawi semakin intens beribadah terutama saat puasa sudah masuk ke malam 21 sampai malam 29. Suara mereka yang mengaji sayup-sayup terdengar dari kejauhan dan serasa tidak pernah berhenti. Ketika itu, tidak sedikit yang telah khatam Qur’an lebih dari tiga kali sepanjang bulan Ramadhan. 

Dahulu, di sisa hari bulan Ramadhan, terutama kaum pria membersihkan rumah bagian dalam dan luar atau pekarangan. Bila masih ada waktu, kaum pria biasanya turut mengecat pagar atau tembok rumah. Sementara kaum perempuan tak kalah sibuknya. Mereka mencuci pakaian untuk sholat Ied seluruh anggota rumah sekaligus mempersiapkan aneka bahan maupun daging, untuk diolah menjadi kue atau panganan khas Betawi dalam rangka menyambut lebaran Idul Fitri. Beragam bentuk kue dan panganan itu seperti, ketupat sayur, semur daging, opor ayam, kue nastar, wajik, dodol Betawi, maupun tape uli yang siap untuk disajikan di hari raya Lebaran Idul Fitri.

Di malam takbiran, gema takbir, tahlil, dan tahmid saling bersahutan antar masjid atau musholla yang disertai dengan irama pukulan bedug oleh jemaah masjid. Ada juga anak-anak yang melakukan takbiran keliling dengan mengarak bedug menggunakan gerobak berkeliling kampung. Kegembiraan di malam jelang lebaran itu bertambah ketika anak-anak muda bermain petasan, kembang api hingga bumbung atau bledukan. 

Sobat budaya, berikut ini beberapa tradisi masyarakat Betawi menyambut lebaran Idul Fitri. Tradisi ini ada yang dilakukan di malam takbiran maupun setelah sholat Ied. Sebagian dari tradisi ini ada yang mulai pudar, ada juga yang masih dipertahankan. Berikut tradisi masyarakat Betawi menyambut Idul Fitri.

  • Tradisi Andilan 

Andilan artinya urunan atau patungan membeli kerbau atau kebo sebelum atau menjelang bulan Ramadhan tiba. Nantinya kerbau itu akan disembelih jelang lebaran Idul Fitri. Biar tidak berat, dibuat paketan (lorisan) berupa arisan warga yang kemudian dikumpulkan selama setahun untuk membeli kerbau. Kerbau yang telah dibeli itu diberi makan yang baik agar cepat gemuk, lalu digembalakan secara bergiliran oleh warga selama bulan Ramadhan. Dahulu, masih banyak lahan savana atau tanah lapang di Jakarta, sehingga dengan mudah kerbau dapat digembalakan. Sebelum lebaran, masyarakat yang ikut arisan andilan, bersama-sama memotong kerbau dan dagingnya akan dimasak dan dimakan bersama-sama. Tradisi andilan ini merupakan wujud rasa syukur kepada Allah dan upaya menumbuhkan gotong royong di antara sesama warga Betawi. Tradisi ini masih eksis, walau terancam punah. Warga Betawi yang berada di pinggiran Jakarta sebagian masih mempertahankan tradisi andilan. Lantaran kerbau agak sulit ditemui, tidak sedikit dari mereka yang menggantinya dengan sapi. 

  • Bermain Bledugan

Umumnya permainan ini dilakukan oleh anak laki-laki dan kaum remaja Betawi. Selain nama Bledugan, permainan ini juga dikenal dengan nama lain seperti bumbungan, lodong, jleguran atau meriam bambu. Permainan ini biasa dimainkan di tanah lapang untuk menyemarakkan suasana malam takbiran. Alat yang digunakan berupa bambu panjang yang berdiameter sedang dan diberi lubang, karbit atau minyak tanah, serta kain lap atau pakaian bekas. Cara bermainnya semirip dengan petasan, tinggal menuangi minyak tanah atau air karbit ke dalam lubang tempat penyulutan. Kemudian, seutas kayu yang sudah dililit dengan kain dan dicelupkan ke minyak tanah lalu diberi api, digunakan sebagai alat penyulut. Sebaiknya berhati hati dalam melakukan permainan ini untuk menghindari hal – hal yang tidak diinginkan.

  • Nyorog atau Tuker Rantang

Tradisi nyorog atau sorogan, atau tuker rantang yang dilakoni sebelum berpuasa Ramadhan, di malam takbiran budaya itu kembali dihidupkan. Isi rantang itu biasanya terdiri dari semur daging maupun ketupat ketan dan sayur sambel godok. Rantang akan dikembalikan dan diisi makanan oleh orang yang tadinya diberi. Tradisi ini merupakan wujud silaturahim warga Betawi dengan cara saling berbagi makanan antara tetangga, kerabat dan sanak famili.

  • Membuat Panganan Khas Betawi

Sepekan atau minimal 3 hari sebelum Lebaran Idul Fitri, biasanya kaum perempuan sibuk mencari bahan dan mengolahnya untuk dijadikan panganan dan kudapan sebagai sajian di rumah atau untuk dibagikan kepada tetangga maupun sanak keluarga. Panganan khas Betawi yang akan disajikan saat Lebaran Idul Fitri antara lain ketupat sayur godog, opor ayam maupun sayur gabus pucung. Sementara kudapannya seperti tape uli, kue nastar, dodol Betawi, wajik Betawi, kue semprit, kue melinca, manisan kolangkaling, manisan cereme dan lain-lain.  

  • Saling bermaafan 

Setelah sholat Idul Fitri selesai, saling bersalaman antar warga dan bermaafan akan dilakukan lebih dulu di masjid atau tempat sholat Ied. Lalu biasanya, mereka akan mengajak sanak familinya untuk berkeliling ke rumah tetangga untuk saling bermaafan. Biasanya, rumah kedua orang tua atau orang yang dituakan dalam keluarga akan disinggahi terakhir. Tetapi ada juga yang melakukannya lebih awal sebelum berkeliling ke rumah tetangga untuk saling bermafaan.

  • Nyekar 

Setelah selesai bermafaan dan selepas waktu dzuhur biasanya keluarga akan berziarah, mendatangi dan mendoakan makam orang tua, saudara atau leluhur mereka yang telah wafat. Ada juga yang melakukannya setelah lewat satu atau dua hari lebaran Fitri, dan biasanya di makam itulah seluruh keluarga besar akan saling bertemu. 

  • Silaturahim selama seminggu 

Masyarakat Betawi yang masih menjalani tradisi merayakan Hari Raya Idul Fitri tujuh hari berturut-turut adalah masyarakat Betawi yang tinggal di daerah Cengkareng, Jakarta Barat. Di daerah ini masih banyak masyarakat asli suku Betawi yang tetap mempertahankan warisan tradisi dari generasi terdahulu. Selain untuk menyambung tali silaturahim, diketahui bahwa hampir setiap orang dewasa sibuk bekerja setiap hari dan nyaris tidak ada waktu luang yang cukup untuk bersilaturahim antar keluarga atau tetangga. Itu sebabnya, tradisi berlebaran selama sepekan itu dipertahankan dengan cara menjaga silaturahim dan saling berkunjung ke anggota keluarga, atau kerabat. 

Berikut adalah agenda perayaan Idul Fitri masyarakat Betawi di Cengkareng, dengan cara bersilaturahi selama sepekan. Hari pertama diperuntukan untuk bersilahturahim ke rumah orang tua, adik, kakak, atau keluarga inti saja. Hari kedua dijadwalkan untuk bersilaturahim dari kampung Selong – Tanah Koja. Pada hari ketiga, giliran keluarga yang tinggal di daerah Kosambi dan sekitar yang bertugas sebagai tuan rumah untuk melayani tamu yang akan datang. Di hari keempat, daerah sekitar Ponpes Al-Itqon, Kompleks Cemara, Pondok Randu, Bojong, hingga Pondok Cabe mendapatkan giliran untuk menjadi tuan rumah. Memasuki hari kelima, jarak yang ditempuh untuk bersilaturahim menjadi semakin jauh. Pada hari kelima ini, para masyarakat asli suku Betawi dijadwalkan untuk mengunjungi sanak keluarga yang berada di daerah Rawa Buaya dan Cengkareng (Bambu Larangan, Batu Ceper, dan Poris). Hari keenam diperuntukkan bagi keluarga sekitar Cantiga, Pulo, Semanan, dan Gondrong untuk melayani para tamu yang akan datang. Tiba saatnya di hari terakhir, yaitu hari ketujuh. Di hari ketujuh biasanya dimanfaatkan untuk mendatangi rumah keluarga yang sempat miss atau terlewat, apabila keluarga yang sudah ditetapkan menjadi tuan rumah berhalangan untuk melayani tamu. Dengan alasan karena ada yang sakit atau sedang menjalankan ibadah umroh. Jadi, di hari ketujuh ini dijadikan sebagai hari pengganti untuk bersilaturahim.

Bujaka - Aplikasi Budaya Jakarta

DINAS KEBUDAYAAN PROVINSI DKI JAKARTA
Jalan Gatot Subroto Kav. 40-41 Lt. 11 dan 12
Kelurahan Kuningan Timur, Kecamatan Setiabudi
Jakarta Selatan
DKI Jakarta, 12950
(021) 252-3164
dinaskebudayaandki@gmail.com