Tradisi Lisan

Ngebuleng

Foto: google.com

Ngebuleng, berasal dari kata buleng yang artinya cerita atau dongeng. Ngebuleng bisa diartikan bercerita. Cerita yang disampaikan dalam bentuk pantun. Tradisi tutur ngebuleng ini masih hidup di daerah pinggiran budaya Betawi yang berbatasan dengan wilayah budaya Sunda, seprti daerah Ciracas, Cijantung, kalimalang dan Depok. Karena itu kebanyakan cerita yang disajikan adalah cenderung cerita yang bernuansa Sunda, seperti Ciung Wanara, Mundinglaya, Gagak Rancang, dsb.

Di dalam masyarakat Betawi, buleng dibedakan antara dongeng dan cerita. Istilah Dongeng dipergunakan untuk menyebut cerita-cerita kerajaan dan babad. Sedangkan Cerita, pada umumnya dipergunakan untuk cerita kehidupan rakyat sehari-hari. Baik kehidupan di masa lampau,  masa kini atau masa depan.

Tukang Dongeng (buleng) biasa memdapat panggilan dari orang yang punya hajat untuk ikut memeriahkan “malam ngangkat“, yaitu malam sebelum pesta sesungguhnya dilangsungkan.

Beberapa waktu lalu, Kajian Bahasa dan Budaya Betawi Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta, menyelenggarakan seminar ketujuh dengan mengundang narasumber terakhir, Kepala Badan Penyelenggaraan Budaya Betawi yaitu Dr. Yahya Adi Saputra, M.Hum., dengan didampingi dosen pengampu mata kuliah Bahasa dan Budaya Betawi Drs. Sam Mukhtar Chaniago, M.Si., serta Dr. Tuti Tarwiyah Adi dan didukung oleh pemaparan kelompok Sastra Lisan Budaya Betawi mahasiswa angkatan 2017. Pemaparan mahasiswa menjelaskan tentang jenis dan perkembangan sastra lisan betawi yang di dalamnya mengandung beberapa hal dalam koteks sastra lisan Betawi.

Mahasiswa memaparkan beberapa hal terkait dengan sastra lisan yaitu palang pintu, sahubul hikayat, ngebuleng, majelis taklim, serta gambang rancang. Pada sesi ini, narasumber membenarkan dan meluruskan pemaparan mahasiswa dengan menampilan salindia terstruktur dengan menjelaskan detail hal-hal yang dipaparkan mahasiswa sebelumnya.

Menurut beliau, mengaji kuping kitab-kitab yang disampaikan dalam majelis taklim itu berupa arab gundul dalam bentuk pegon (aksara arab) juga bahasa jawi (kitab 20 sifat Allah). Majelis taklim dalam berbentuk teks tertulis. Beliau meragukan majelis taklim itu sebagai sastra lisan sebab bahan ajar tertulis yang sudah disampaikan sebelumnya dalam Al-kitab sehingga masih mempertanyakan dan meragukan majelis taklim bukanlah sebuah jenis sastra lisan.

Sumber: Diolah dari berbagai sumber.

Bujaka - Aplikasi Budaya Jakarta

DINAS KEBUDAYAAN PROVINSI DKI JAKARTA
Jalan Gatot Subroto Kav. 40-41 Lt. 11 dan 12
Kelurahan Kuningan Timur, Kecamatan Setiabudi
Jakarta Selatan
DKI Jakarta, 12950
(021) 252-3164
dinaskebudayaandki@gmail.com