Tradisi Lisan

Mengenal Tradisi Lisan Betawi

Ilustrasi Tradisi Lisan Betawi (Foto: ist)
Ilustrasi Tradisi Lisan Betawi 
Foto: ist

Tradisi lisan merupakan budaya atau tradisi bertutur yang dilakukan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi bertutur itu biasanya berdasarkan kisah tertentu yang mengandung pesan moril positif yang disampaikan melalui ucapan, pidato, nyanyian, dan dapat berbentuk pantun, cerita rakyat, nasihat, balada, atau lagu. Nah, tradisi lisan Betawi dalam sejarahnya dipengaruhi oleh akulturasi budaya dari budaya Melayu, Arab maupun Tionghoa. Sobat budaya, tradisi lisan Betawi juga tidak bisa dilepaskan dari seni pertunjukkan atu teater, lagu, sastra maupun syair. Berikut tradisi lisan Betawi yang populer, sebagian masih eksis dan sebagian lagi sudah langka ditemui

 Sastra Buleng

Buleng atau ngebuleng (dongeng) adalah sejenis cerita lisan yang dibawakan dalam bentuk prosa atau bentuk prosa liris. Sesuai dengan isi cerita, biasanya bahasa yang dipergunakan oleh Buleng adalah bahasa "Melayu Tinggi" yang dicampur dengan Bahasa Sunda. Sebagai salah satu bentuk sastra lisan Betawi ia bisa berupa dongeng atau cerita yang dibawakan oleh tukang cerita. Kata Buleng berasal dari nama seorang penutur cerita atau pendongeng yang berada di wilayah Betawi. Dahulu ada kebiasaan masyarakat Betawi yang menamai jenis keahliannya dengan nama pembawa atau penutumya, seperti Pak Buleng yang kesehariannya berprofesi sebagai penutur cerita atau pendongeng maka jenis keahlian mendongengnya disebut Buleng. Dulu di Jakarta ada seorang pendongeng atau juru cerita yang bemama Pak Buleng. Pak Buleng tinggal di Kampung Susukan dekat Pasar Rebo Jakarta. Lama kelamaan nama profesi yang digeluti oleh Pak Buleng dinamakan oleh masyarakat sebagai Buleng atau tradisi lisan Buleng. Versi lainnya menyebutkan bahwa Buleng berarti cerita atau dongeng, orang yang sedang bercerita disebut ngebuleng.

Tradisi lisan Buleng biasa ditampilkan pada acara-acara seperti khitanan (sunatan), pemikahan, nujuh bulanan, ulang tahun, dan kaul. Dalam acara khitanan biasanya tradisi lisan Buleng ini tampil pada malam akan disunat atau disebut mangkat. Jadi mangkat adalah malam sebelum hari H-nya. Besoknya disunat atau dikhitan dan malamnya biasanya ada acara hiburan lain seperti nanggap irama gambus, lenong, dan jenis hiburan lainnya. Tradisi ini tidak membutuhkan tempat khusus untuk tampil, bisa di dalam rumah sambil berkumpul melingkar beralaskan karpet dan tikar atau dibuatkan bale di luar dengan posisi penonton bisa duduk atau berdiri. Waktu acara tradisi lisan pada umumnya malam sedangkan durasi waktunya sangat fleksibel bias semalam suntuk, bias sejam dua jam, dan seterusnya, bias juga sesuai keinginan yang punya hajat. Cerita yang akan dibawakan bisa sesuai keinginan yang punya hajat atau terserah pada juru cerita saja.

Di kalangan masyarakat Betawi, Buleng dibedakan antara dongeng dengan cerita. Disebut dongeng bila menceritakan kerajaan-kerajaan, raja-raja, para bangsawan, kadang-kadang juga disebut cerita Babad. Tradisi bertutur Buleng memuat pesan-pesan positif dan moral dalam setiap kisahnya. Judul -judul cerita yang sering dibawakan oleh seorang buleng diantaranya, Gagak Karancag, Telaga Warna, Dalem Bandung, Ciung Wanara, dan Raden Gondang. Budaya ini sudah langka dijumpai hanya di beberapa tempat saja, seperti Ciracas, Cijantung dan Kali Malang.

 

Sahibul Hikayat

Budaya bertutur ini masih populer dan masih eksis di masyarakat Betawi. Budaya lisan Sahibul Hikayat dipengaruhi oleh tradisi Arab. Penuturnya dinamai sebagai juru hikayat. Pertunjukan sahibul hikayat sebagaimana layaknya atraksi kesenian lainnya, dibawakan oleh pencerita, dalam hal ini sahibul hikayat atau tukang cerita, sang pencerita harus mampu membawakan cerita dengan kepiyawaian dalam menciptakan cerita dengan cara mengingat, apa yang diingat, diulang, diseru, dan ditegaskan oleh penutur cerita, yaitu tradisi Betawi yang bermacam-macam bentuk pengetahuannya yang tentu bisa diterima oleh masyarakatnya. Adapun kutipan awal cerita yang dituturkan oleh sahibul hikayat.

Sahibul hikayat digemari oleh masyarakat, terutama golongan santri, sebab bisa digunakan sebagai media dakwah. Dengan demikian, sahibul hikayat menjadi panjang, karena banyak ditambah bumbu-bumbu. Humor yang diselipkan disana-sini biasanya bersifat improvisasi dan spontan. Terkadang juga menyindir situasi masa kini. Dalam ceritanya, biasanya juga diselipkan muatan dakwah Islam. Sumber cerita yang dibawakan oleh juru hikayat biasa berusmber dari kisah-kisah klasik di Persia, seperti Seribu Satu Malam, Nurul Laila, dan Alfu Lail wal Lail. Budaya lisan ini berkembang di sejumlah wilayah seperti Salemba, Tanah Abang, Kebon Sirih dan Kemayoran, Mampang Prapatan sampai Taman Sari Jakarta Barat.

 

Gambang Rancag

Rancag, menurut ucapan orang Betawi pinggiran, sama artinya dengan pantun. Rancagan berarti pantunan. Budaya lisan Betawi ini dipengaruhi oleh kultur Tionghoa, terutama dari alunan musiknya. Rancagan berarti pantunan. Gambang Rancag merupakan seni sastra pertunjukkan yang disertai oleh musik pengiringnya yaitu gambang kromong dan rancag atau cerita yang dibawakan dalam bentuk pantun atau syair. Gambang Rancag biasanya dilakukan oleh dua orang atau lebih juru rancag yang menceritakan dengan atau cerita dengan dinyanyikan. Sejak awal perkembangannya Gambang Rancag biasanya dipentaskan untuk memeriahkan pesta atau hajatan.

Sementara lagu-lagu yang biasa turut dimainkan dalam musik gambang kromong untuk selingan dalam pertunjukan gambang rancag, seperti lagu-lagu Jali-jali, Persi, Surilang, Lenggang Kangkung, Gelatik Nguknguk, Onde-Onde dan sebaginya.

 

Palang Pintu

Tradisi bertutur ini berasal dari Betawi tengah dan Betawi kota, Betawi pinggiran biasa menyebut palang pintu dengan sebutan rebut Dandang. Belum ada catatan pasti kapan Tradisi ini dimulai, namun tokoh Betawi Si Pitung diyakini sudah menjalani budaya tersebut saat ingin menikahi Aisyah, putri Jawara berjuluk Macan Kemayoran, Murtadho.

Dahulu, Palang Pintu merupakan sebuah tradisi yang maknanya lebih pada proses menguji ilmu calon pengantin laki-laki, sesuai dengan kisah-kisah Betawi tempo dulu yang banyak dijumpai Jawara bermain pukul (silat) di hampir setiap kampung. Dalam perkembangan, selain atraksi 'maen pukul' tradisi itu juga diselipkan syair, atau saling berbalas pantun antara pihak laki-laki dan pihak perempuan dalam prosesi lamaran.

Bujaka - Aplikasi Budaya Jakarta

DINAS KEBUDAYAAN PROVINSI DKI JAKARTA
Jalan Gatot Subroto Kav. 40-41 Lt. 11 dan 12
Kelurahan Kuningan Timur, Kecamatan Setiabudi
Jakarta Selatan
DKI Jakarta, 12950
(021) 252-3164
dinaskebudayaandki@gmail.com