Adat Istiadat

Mengenal Gotong Royong Betawi: dari Bikin Dodol hingga Pindahan Rumah

Tradisi gotong royong memang sudah menjadi ciri bangsa Indonesia. Gotong royong memiliki arti kerja sama, berkumpul dan bermusyawarah mengerjakan sesuatu untuk kemaslahatan bersama. Gotong royong memiliki istilah tersendiri pada setiap daerah di Indonesia. Nah, untuk di Jakarta, khususnya suku Betawi, istilah gotong royong disebut dengan paketan.

Paketan secara harfiah memiliki arti berkumpul dan bermusyawarah untuk melakukan kerja bakti atau gotong royong. Sedangkan secara metafora artinya bekerja bersama-sama secara sukarela untuk menyelesaikan semua persoalan yang ada di tengah-tengah masyarakat. 

Di dalam tradisi gotong royong atau paketan di kalangan masyarakat Betawi, terdapat suatu ungkapan atau peribahasa yang memiliki makna khusus untuk gotong royong. Seperti, ‘kalo mao samè-samè, semut bisa mindain gunung’.


Gotong royong membangun Masjid
kegiatan gotong royong membangun masjid /sumber foto: tim Website Dinas Kebudayaan DKI

Artinya, jika dikerjakan bersama, semut pun bisa memindahkan gunung. Peribahasa ini masih efektif hingga saat ini. Bahkan, kegiatan gotong royong ini masih bisa dijumpai di kalangan masyarakat Betawi. Mereka pada umumnya bergotong royong dalam pembangunan gedung atau rumah ibadah, dalam hal ini masjid.

Para warga biasanya dikumpulkan dan koordinir oleh seorang ketua tokoh masyarakat setempat. Akan tetapi pada zaman sekarang biasa dilakukan oleh ketua RT atau RW. Kegiatan gotong royong ini masih bisa kita jumpai di kampung-kampung Betawi yang masih eksis di Jakarta. Seperti kampung Betawi yang ada di Rawa Belong Pos Pengumben Jakarta Barat atau di Kampung Betawi yang ada di Srengseng Sawah Jagakarsa Jakarta Selatan.

Gotong royong membangun Masjid (1)
kegiatan gotong royong membangun masjid /sumber foto: tim Website Dinas Kebudayaan DKI

Terdapat banyak kegiatan gotong royong di kalangan masyarakat Betawi selain membangun masjid atau membersihkan lingkungan. Diantaranya yaitu gotong royong bikin dodol, ngubek empang, gotong royong di acara pernikahan dll.

Beberapa contoh gotong royong di kalangan masyarakat Betawi:
 
Gotong Royong Bikin Dodol
Gotong royong bikin do
dol tersebut adalah kegiatan membuat dodol Betawi. Kegiatan gotong royong membuat dodol ini biasa dilakukan menjelang hari raya Idul Fitri atau lebaran. Hasil dari gotong royong bikin dodol yang dibuat secara bersama-sama tentunya untuk dihidangkan pada saat hari raya Idul Fitri atau Lebaran.

Saking guyubnya masyarakat Betawi dalam hal gotong royong membuat dodol ini, keluarga-keluarga Betawi pada zaman dulu yang rumahnya berdekatan akan mengumpulkan bahan-bahan pembuatan dodol. Dari pembelian bahan dodol hingga proses pembu
atan dilakukan secara bersama-sama.

Adonan dodol minimal diaduk dua orang secara bergantian selama tujuh jam. Acara ngaduk dodol tersebut bukan hanya ritual untuk menghasilkan penganan, tetapi juga menyiratkan nilai iman dan kemasyarakatan. Misalnya, nilai silaturahim, gotong-royong, kerja keras, dan harmoni.

Dengan nilai-nilai budaya gotong royong dan tolong menolong dalam membuat makanan khas betawi dodol yang dilakukan secara bersama-sama oleh etnik Betawi, maka nilai-nilai kebersamaan akan semakin tinggi dan menyatu sehingga nilai budaya dodol sebagai makanan khas betawi tidak akan punah digerus oleh makanan yang berbau modern. Namun jika pembuatan dodol betawi sebagai makanan khas betawi sudah ditinggakan, maka nilai-nilai gotong royong untuk saling tolong menolong akan pudar seiring dengan perkembangan waktu.
 
Ngubek Empang
Nuansa gotong royong pada kegiatan ngubek empang terlihat pada saat pelaksanaan memanen ikan. Pada kegiatan ini, empang akan dikuras. Pada saat menguras empang biasanya masyarakat akan terlibat dalam aktivitas Ngubek Empang. Ikan yang terdapat di empang terdiri dari ikan-ikan yang sengaja ditanam seperti ikan mas dan gurame dan ada juga ikan yang memang tidak sengaja ditanam seperti gabus, lele, mujair, dan sebagainya.

Jika menemukan ikan mas atau gurame, maka harus memberikannya kepada pemilik empang, sedangkan ikan-ikan lain di luar ikan mas dan gurame boleh diambil atau dimiliki oleh warga. Setelah proses menguras empang selesai dan ikan-ikan sudah selesai dipunguti, biasanya pemilik empang akan membagikan sebagian ikan itu kepada warga yang terlibat dalam kegiatan ngubek empang.

Nilai budaya gotong royong dan tolong menolong pada kegiatan ngubek empang relatif masih bertahan hingga saat ini. Misalnya di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, masih ada warga yang memiliki empang. Sebagian besar warga Betawi berpendapat bahwa empang ada nilai rekreasinya atau hiburan di kala waktu senggang.

Bagi sebagian warga Betawi, mengurus ikan di empang ada nilai seni tersendiri yang dapat menghilangkan kejenuhan. Jika aktivitas ngubek empang masih ada di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, maka nilai kebersamaan sebagai perekat nilai gotong royong akan semakin tampak namun hal ini ditunjang oleh keberadaan empang itu sendiri.
 
Gotong Royong di Acara Pernikahan
Pada saat persiapan hajatan pernikahan, kebersamaan dan saling membantu juga masih kental terlihat. Sampai saat ini, tradisi musyawarah sebelum pelaksanaan upacara pernikahan masih dipertahankan oleh masyarakat Betawi khususnya yang masih tinggal di perkampungan. Pada acara musyawarah, biasanya saudara dari keluarga besar calon pengantin dengan sukarela menawarkan bantuan barang maupun uang kepada keluarga mempelai. Mereka bermusyawarah untuk menentukan barang apa saja yang akan disediakan dan biasanya akan dibagi rata kepada seluruh keluarga besar.
 
Gotong Royong Membuat Rume (Rumah)
Gotong royong dan tolong menolong dalam membuat rume atau rumah biasanya diikuti oleh bapak-bapak, ibu-ibu, dan para remaja. Bapak-bapak dan remaja biasanya membawa cangkul, golok, arit dan blencong. Sedangkan tugas ibu-ibu adalah memasak atau menyiapkan makanan bagi yang bekerja membuat rume. Di kalangan masyarakat Betawi, membuat atau pindah rume merupakan kegiatan yang amat penting, sehingga biasanya ada syarat-syarat tertentu termasuk menentukan hari yang dianggap cocok untuk memulai proses membangun atau pindah rume.

Bujaka - Aplikasi Budaya Jakarta

DINAS KEBUDAYAAN PROVINSI DKI JAKARTA
Jalan Gatot Subroto Kav. 40-41 Lt. 11 dan 12
Kelurahan Kuningan Timur, Kecamatan Setiabudi
Jakarta Selatan
DKI Jakarta, 12950
(021) 252-3164
dinaskebudayaandki@gmail.com