Seni Musik

Keroncong Tugu dan Sejarahnya

Seni musik keroncong Tugu lahir dari masyarakat keturunan Portugis yang tinggal di kampung Tugu, Jakarta Utara. Menurut Guido Quiko—pemimpin Orkes Keroncong Cafrinho Tugu, ketika Malaka (yang dikuasai Portugis) jatuh ke tangan Belanda (1641), sekitar 800 tawanan Portugis diasingkan ke Batavia. Dari tawanan tersebut, pada tahun 1661, 23 keluarga dimerdekakan dan diberi kebebasan untuk tinggal tanpa membayar pajak di area seluas 20 hektar di Kampung Tugu, dengan persyaratan berpindah keyakinan dari Katolik ke Kristen Protestan. Sejak itu, banyak nama fam Portugis kemudian diubah menjadi nama fam Belanda seperti Andres, Cornelis, Mihils, Abraham dan Browne. Kecuali fam Quiko, karena saat itu sesepuh dari fam Quiko seorang penginjil. Di Kampung Tugu, yang masa itu masih hutan lebat, 23 keluarga Portugis hidup dari bercocok tanam, berburu, dan memancing ikan. Di kawasan rawa-rawa Cilincing itulah eks orang buangan yang dijuluki kaum Mardikers ini membangun komunitas yang kini dikenal sebagai orang “Kampoeng Toegoe”. Untuk menikmati hiburan, mereka harus berjalan kaki dengan jarak tempuh yang jauh dan melalui hutan lebat, ke area Kota Tua. Karena itu, mereka membuat alat musik sendiri yang dibuat dari batang kayu bulat, dari beberapa jenis pohon antara lain pohon nangka, kenanga dan waru. Mereka membuat gitar kecil menyerupai tapakkunyo—alat musik tradisi Portugis.

Mereka menyebutnya alat kreasinya, macina. Terbuat dari kayu yang dibobok di bagian tengah dan diberi senar dari kulit pohon waru. Alat musik macina ini menghasilkan bunyi crong.. croong… crooong. Ketika mereka sedang memainkan macina, orang Betawi di masa itu menyebutnya “orang Tugu lagi crang crong”. Pada perkembangan selanjutnya, musik masyarakat Tugu itu disebut musik keroncong. Musik keroncong itu pada mulanya dimainkan masyarakat Tugu untuk melepas lelah setelah berladang. Di waktu petang, mereka beristirahat minum kopi, bernyanyi sambil memainkan macina. Lama-kelamaan banyak orang Betawi dan orang Belanda yang menyukainya, datang ke Kampung Tugu untuk menikmati musik crang crong itu. Kemudian para pemusik Indies menyerap cara bermain musik masyarakat Kampung Tugu dengan menggunakan ukulele. Banyak orang Betawi juga yang memainkan musik crang crong ini ke Tugu sambil membawa alat musik mereka, seperti suling dan rebana. Musik tradisi Tugu yang kemudian dikenal sebagai musik keroncong ini belakangan dibawa ke beberapa wilayah oleh penggemarnya dan melahirkan musik keroncong dengan kekhasannya sendiri-sendiri. Seperti di Gambir berkembang musik keroncong Old Batavia, di Pasar Baru berkembang Life Java, di Kemayoran berkembang the Crocodile. Pada tahun kemerdekaan RI, 1945, banyak pemberontakan yang mengatasnamakan etnis, agama, suku, yang ingin menyerang masyarakat keturunan Portugis di Kampung Tugu. Bersyukur ada seorang tokoh masyarakat, Haji Nasrum, yang membela orang Kampung Tugu dan menyatakan bahwa keturunan Portugis di Kampung Tugu juga termasuk orang pribumi. Di masa itu, sebagian masyarakat Kampung Tugu eksodus ke Papua dan Belanda. Setelah Gubernur DKI (saat itu) Ali Sadikin mengintruksikan masyarakat Tugu untuk menunjukkan kembali potensi yang ada di Kampung Tugu, termasuk musik keroncong Tugu. Tujuannya agar keberadaan masyarakat Tugu diakui pemerintah. Gereja Tugu yang dibangun sejak keturunan Portugis membuka lahan ini pun, oleh Ali Sadikin diangkat statusnya menjadi cagar budaya.

Di tengah berkembangnya aliran musik keroncong, apakah yang menjadi kekhasan dari musik keroncong Tugu. kekhasan keroncong Tugu ada pada warna musiknya, Musiknya tidak berlebihan, tidak harus bermain musik di kunci atau cord yang sulit. Kekhasan lainnya ada pada alat musik macina yang diciptakan nenek moyang mereka dan rebana, alat musik yang diserap dari kebudayaan Betawi. Tentu juga dengan lagu-lagu yang lahir di Kampung Tugu, antara lain Old Batavia dan Bunga Teratai. Selain itu, kekhasannya terletak pada kostum sadaria yang mereka kenakan.

Bujaka - Aplikasi Budaya Jakarta

DINAS KEBUDAYAAN PROVINSI DKI JAKARTA
Jalan Gatot Subroto Kav. 40-41 Lt. 11 dan 12
Kelurahan Kuningan Timur, Kecamatan Setiabudi
Jakarta Selatan
DKI Jakarta, 12950
(021) 252-3164
dinaskebudayaandki@gmail.com