Seni budaya

Keragaman Seni Rebana Betawi

Sobat budaya, sejak lama masyarakat Betawi dikenal mempunyai akulturasi budaya sangat baik dengan budaya luar. Hal itu bisa dilihat dari beragam produk budaya Betawi yang tidak sedikit dipengaruhi oleh unsur budaya luar. Semisal produk seni Gambang Kromong yang dipengaruhi oleh warna musik Tionghoa. Ada juga Keroncong Tugu yang pengaruh kuatnya diyakini berasal dari musik yang dibawa kaum Portugis-Arab. Tak terkecuali alat musik rebana berikut seni pertunjukkannya yang berasal dari Timur Tengah. Seni rebana itu seturut dengan misi penyebaran atau syiar Islam di nusantara. Dalam perjalanan, variasi seni rebana tumbuh subur di Betawi. Bila syiar Islam yang dilakukan oleh Wali Songo di daerah Jawa disertai oleh musik gamelan, di Betawi para habaib dari Hadramaut (Yaman) menggunakan rebana. Diperkirakan, masyarakat Betawi mengenal seni rebana sejak abad 18. Bagi masyarakat Betawi, Islam tidak sebatas agama saja, melainkan juga budaya. Maka dapat dipahami bila seni rebana diterima dan dikembangkan dengan baik sehingga menjadi kearifan lokal atau dalam hal ini menjadi bagian dari budaya warga Betawi. Ia tidak hanya hadir dalam kegiatan marawisan atau majelisan saja. Seni rebana di masyarakat Betawi, juga kerap dihadirkan ketika memperingati hari besar Islam atau acara-acara khusus. Seperti muludan (peringatan Maulid Nabi Muhammad), walimatul urusy (resepsi pernikahan), syukuran sunatan (walimatul khitan), tradisi nujuh bulanan (walimatul hamli) hingga mengiringi penyambutan tamu-tamu penting. Seni bernafaskan Islami itu mengandung kisah, syair, pujian terhadap Rasulullah Muhammad SAW serta menyertakan muatan hikmah yang mendalam. Besar kemungkinan nama rebana berasal dari bahasa Arab yaitu Robbana yang artinya, Tuhan Kami.   

Alat musik rebana mirip seperti gendang. Bedanya, alat musik rebana berbentuk pipih bundar. Bahan pembuatannya pun hampir serupa. Terbuat dari tabung kayu pendek, di mana hanya salah satu sisinya saja yang diberikan permukaan kulit untuk dipukul. Berbeda dengan gendang, sisi permukaan rebana yang ditutup kulit diameternya agak lebar.  

Nah, sobat budaya, apa saja keragaman seni rebana khas Betawi? Yuk kenali lebih lanjut, berikut informasi singkatnya. 

 

  • Rebana Biang 

 

Rebana Biang merupakan salah satu rebana yang berasal dari Betawi, Jakarta. Di daerah lain, Rebana jenis ini disebut juga dengan rebana Gede, Rebana Salun, Gembyung, dan Terbang Selamet. Disebut Rebana Biang karena salah satu rebananya berbentuk besar. Meski bentuknya sama, Rebana Biang terdiri dari empat jenis. Yang paling kecil berdiameter 20 cm yang biasa disebut Ketog, yang bergaris tengah 30 cm disebut Gendung, yang sedang bergaris tengah 60 cm dinamai Kotek dan yang paling besar bergaris tengah 60-80 cm dinamai Biang.

Karena bentuknya yang besar, rebana biang dimainkan sambil duduk dengan cara menyanggahnya dengan telapak kaki dan lutut. Bila cara membawakan rebana jenis lain tampak khidmat dan syair-syairnya yang berasal dari bahasa Arab diucapkan dengan tajwid dan makhraj yang bagus, maka kata-kata Arab dalam orkes Rebana Biang diucapkan dengan lidah atau dialek setempat.

Lagu Rebana Biang ada dua macam. Pertama, yang berirama cepat, disebut lagu Arab atau lagu nyalun, seperti Rabbona salun'allohuah, Alpasah, Allah Aisa, Allahu Sailillah dan Hadro Zikir. Kedua, yang berirama lambat, disebut lagu Rebana atau lagu Melayu, antara lain Alfasah, Alaik Soleh, Dul Sayidina, Dul Laila, Yulaela, Sollu Ala Madinil Iman, Anak Ayam Turun Selosin, Sangrai Kacang. Kebanyakan kelompok Rebana Biang yang lebih dekat dengan kota Jakarta, seperti Rebana Biang Ciganjur, lebih banyak memiliki perbendaharaan lagu-lagu "dzikir" berbahasa Arab atau lagu-lagu berlirik bahasa Betawi. 

 

  • Rebana Burdah 

 

Rebana Burdah merupakan salah satu jenis alat musik tradisional khas Betawi, Jakarta. Penamaan Rebana Burdah mungkin karena nama grupnya, yaitu "Burdah Fiqah Ba'mar yang dipimpin oleh Sayid Abdullah Ba'mar. Bisa jadi juga dinamakan demikian karena biasa membawaka qaidah (salah satu bentuk puisi Arab) Allwida yang terdapat di kitab Majemuk atau Mawalid. Rebana jenis ini hanya bisa ditemukan di Kuningan Barat, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan dan dikembangkan oleh Abdullah Ba'mar para pemainnya semula berasal dari keluarga Ba'mar, Amzar dan Kathun yang kesemuanya merupakan imigran Arab asal Mesir. Kehadiran Burdah Fiqah Ba'mar awalnya untuk mengisi waktu luang menjelang atau sesudah pengajian.

Adanya musik Rebana Burdah membuat suasana pengajian terasa lebih meriah dan tidak membosankan. Karena dimainkan pada forum pengajian, lagu-lagu yang dinyanyikan diambil dari syair Al-Busyiri yang berisi puji-pujian kepada Nabi Muhammad. Pada umumnya lagu-lagu Burdah berirama 4/4 dimainkan sambil duduk bersila, sedangkan lagu-lagu yang berirama lebih cepat biasa disebut "Fansub" dimainkan sambil berdiri.

 

  • Rebana Dor 

 

Rebana Dor merupakan salah satu jenis alat musik tradisional khas Betawi, Jakarta. Rebana ini memiliki lubang-lubang kecil pada "kelongkonganya" yang berfungsi untuk tempat jari. Cara memegang Rebana Dor terkadang bertumpu pada lutut kiri kanan. Tangan kiri dan kanan bebas memukul rebana. Ciri khas Rebana Dor terletak pada irama pukulan yang tetap sejak awal hingga akhir lagu. Ciri lainnya adalah lagu Yaliil, yaitu bagian solo vokal sebagai pembukaan lagu. Lagu Yaliil mengikuti nada atau notasi lagu membaca Qur'an, antara lain Shika, Hijaz, Nahawan, Rosta dan lain-lain.Syair lagu Rebana Dor diambil dari berbagai sumber, antara lain Syarafal Anam, Mawalidil Muhammadiyah, Diiwan Hadroh, Addiibai. Sering pula dibawakan lagu-lagu dari penyanyi Mesir terkenal seperti Ummi Kaltzoum. Rebana ini memiliki banyak persamaan dengan rebana kasidah. Namun dalam perkembangannya rebana kasidah lebih banyak diminati oleh remaja putri sehingga bertumbuh sangat pesat. Rebana Dor pun tersisih karena hanya dimainkan oleh orang_orang tua yang sudah lanjut usia.

 

  • Rebana Hadroh 

 

Rebana Hadroh merupakan salah satu jenis alat musik khas Betawi, Jakarta. Rebana ini terdiri dari tiga jenis yaitu "Bawa", irama pukulannya cepat dan berfungsi sebagai komando, "Ganjil" atau "Seling" berfungsi saling mengisi dengan "Bawa" dan "Gedug" yang berfungsi sebagai bas. Karena itu ada pula yang menyebutnya "Rebana Gedug". Rebana Hadroh tidak dipukul dengan pukulan biasa, tetapi dipukul seperti memainkan gendang sehingga terdengar agak melodius. Jenis pukulan rebana hadroh ada empat yaitu tepak, kentang, gedug, dan pentil. Semua jenis pukulan itu dilengkapi dengan nama-nama irama pukulan seperti irama pukulan jalan, sander, sabu, pegatan, sirih panjang, sirih pendek dan bima. Sementara lagu-lagu Rebana Hadroh diambil dari syair Diiwan Hadroh dan syair Addibaai. Yang khas dari pertunjukan Rebana Hadroh adalah Adu Zikir. Dalam adu zikir tampil dua grup yang silih berganti membawakan syair Diiwan Hadroh, grup yang kalah umumnya grup yang kurang hafal membawakan syair tersebut.

 

  • Rebana Kasidah 

 

Rebana Kasidah merupakan salah satu jenis alat musik tradisional khas Betawi, Jakarta. Rebana ini merupakan rebana yang paling popular sehingga disetiap kampung terdapat grup Rebana Kasidah. Rebana ini dianggap sebagai perkembangan lebih lanjut dari Rebana Dor. Tidak ada unsur ritual dalam penampilan Rebana Kasidah, karena itulah ia dapat bebas dimainkan dimana saja dan dalam acara apa saja. Lirik-lirik yang dinyanyikan tidak terbatas pada lirik-lirik berbahasa Arab, melainkan juga berbahasa Indonesia. Di masa lalu hampir semua madrasah memiliki kelompok Rebana Kasidah. Bahkan di era 1970 sampai 1980-an festival kasidah marak dilaksanakan. Grup pemenang festival ditampilkan pada acara_acara penting. Ada pula grup yang merekam lagu-lagu mereka kedalam pita kaset dan laris dijual.

 

  • Rebana Ketimpring

 

Rebana Ketimpring merupakan salah satu jenis rebana yang berasal dari Betawi, Jakarta. Disebut Rebana Ketimpring karena adanya tiga pasang "ketimpring" atau "kerincingan". Bentuknya semacam kecrek yang dipasang pada badan yang terbuat dari kayu. Menurut istilah setempat kayu itu disebut "kelongkongan". Tapi tidak semua rebana berkerincingan disebut Rebana Ketimpring, ada pula yang bernama Rebana Hadroh dan Rebana Burdah. Rebana Ketimpring dimainkan oleh sebuah grup dengan tiga buah rebana. Rebana pertama berfungsi sebagai komando, disebut dengan rebana lima. Sedang dua yang lain disebut rebana tiga dan rebana empat yang permainannya mengikuti arah irama rebana lima.

 

  • Rebana Maukhid

 

Rebana Maukhid merupakan salah satu jenis alat musik tradisional khas Betawi, Jakarta. Awal mula keberadaan rebana Maukhid tidak lepas dari seorang mubalig yang bernama Habib Hussein Alhadad. Beliau yang pertama sekali mengembangkan Rebana Maukhid. Habib ini mempelajari kesenian Rebana dari Hadramaut, Yaman. Rebana Maukhid aslinya hanya dua buah, tetapi ia mengembangkannya menjadi empat sampai enam belas buah. Untuk lebih memeriahkan tablig, setiap malam Jumat, Habib Hussein menyanyikan shalawat diiringi rebana. Ia menyanyikan syair shalawat yang diambil dari karya Abdullah Alhadad. Kesenian ini dapat dimainkan tanpa terikat jumlah pemain dan tempat pertunjukannya, sehingga dapat dimainkan oleh dua hingga enam belas orang. Keberadaan Rebana Maukhid bukan semata_mata untuk pertunjukkan, tapi ditujukkan juga sebagai pengisi acara tablig. Ukuran jenis rebana ini lebih besar dari Rebana Hadroh, sekitar 40 cm dan lebih kecil dari Rebana Burdah yang berukuran sekitar 50 cm. Rebana Maukhid hanya ada di Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

 

  • Rebana Maulid

 

Rebana Maulid berfungsi sebagai pengiring pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW. Syair maulid yang biasa dibaca Syarafal Anam karya Syaikh Albarzanji dan kitab Addibai karya Abdurrahman Addibai. Tidak seluruh bacaan diiringi rebana hanya bagian tertentu seperti Assalamualaika, Bisyahri, Tanaqqaltu, Wulidalhabibu, Shalla Alaika, Badat Lana, dan Asyrakal. Bagian Asyrakal lebih semangat karena semua hadirin berdiri. Pembacaan maulid nabi dalam masyarakat Betawi sudah menjadi tradisi dan tidak terbatas pada bulan maulid (Rabiul Awwal) saja. Setiap acara selalu ada pembacaan maulid seperti khitanan, nujuhbulanin, akekah, pernikahan dan sebagainya.Pukulan Rebana Maulid berbeda dengan pukulan Rebana Ngarak. Nama-nama pukulan Rebana Maulid disebut pukulan jati, pincang sat, pincang olir dan pincang harkat. Dahulu ada seniman Rebana Maulid yang gaya pukulannya khas bernama Sa'dan, tinggal di Kebon Manggis, Matraman. Sa'dan memperoleh inspirasi pukulan rebana dari gemuruh air hujan. Gayanya disebut gaya Sa'dan

 

  • Rebana Ngarak

 

Sesuai dengan namanya, Rebana Ngarak berfungsi untuk mengarak dalam suatu arak_arakan. Rebana ngarak biasanya mengarak mempelai pengantin laki-laki menuju kerumah mempelai pengantin perempuan. Syair lagu Rebana Ngarak biasanya shalawat. Syair shalawat itu diambil dari kitab maulid Syarafal Anam, Addibai atau Diiwan Hadroh. Karena berfungsi mengarak itulah, Rebana Ngarak tidak statis disatu tempat saja. Gaya pukulan Rebana Ngarak biasanya disesuaikan dengan kesempatan. Misalnya selama perjalanan pengantin laki-laki menuju rumah pengantin perempuan biasanya menggunakan pukulan "salamba". Setelah berada dirumah pengantin perempuan biasanya digunakan gaya "sadati". Berasal dari kata "syahadatain", dua kalimat syahadat yang akan diucapkan oleh pengantin laki-laki dihadapan penghulu. Rebana Ngarak saat ini berkembang dengan baik. Banyak remaja dan pemuda mempelajarinya. Dalam grup Rebana Ngarak dipelajari pula berbalas pantun dan silat, seperti dalam upacara ngarak pengantin. Grup Rebana Ngarak terdapat di berbagai kampung seperti di kampung Paseban, Kwitang, Karang Anyar, Kali Pasir, Kemayoran, Kayu Manis, Lobang Buaya, Condet, Ciganjur, Grogol, Kebayoran Lama, Pejaten, Pasar Minggu, Kalibata dan lain-lain.

Bujaka - Aplikasi Budaya Jakarta

DINAS KEBUDAYAAN PROVINSI DKI JAKARTA
Jalan Gatot Subroto Kav. 40-41 Lt. 11 dan 12
Kelurahan Kuningan Timur, Kecamatan Setiabudi
Jakarta Selatan
DKI Jakarta, 12950
(021) 252-3164
dinaskebudayaandki@gmail.com