Adat Istiadat

Tradisi Ritual Bikin Rume (Membangun Rumah)

Kelompok masyarakat Betawi memiliki ciri khasnya yakni saling tolong menolong, membantu antar sesama dan gotong royong. Hal ini diaplikasikan dalam kegiatan sehari-hari masyarakat Betawi di perkampungan. Salah satu kegiatan gotong royong yang dilakukan adalah membangun rumah dari salah satu warga atau dalam bahasa Betawi dikenal dengan istilah Bikin Rume.
 
Dalam tradisi Bikin Rume ini ada beberapa ritual yang harus dilakukan khususnya bagi kalangan masyarakat Betawi tempo dulu. Sebab orang zaman dulu menganggap membangun rumah adalah kegiatan yang sakral. Membangun rumah disebut sesuatu yang sakral karena terkait dengan perhitungan, beberapa pantangan, hari baik, rezeki dan keselamatan bagi yang menempati rumah itu nantinya. Sebelum membangun rumah orang Betawi terlebih dahulu melakukan musyawarah antar sesama anggota keluarga.
 
Topik yang dimusyawarahkan bermacam-macam, mulai dari jenis rumah yang akan dibangun, soal ketersediaan lahan, kebutuhan-kebutuhan apa saja yang perlu disiapkan, permohonan bantuan biaya pembangunan, sampai ritual-ritual kepercayaan nenek moyang mereka misalnya arah bangunan yang akan dibangun, hari baik, dll.
 
Setelah sudah didapat hari yang tepat untuk membangun rumah, maka terlebih dahulu diadakanlah tahlilan, atau orang Betawi menyebutnya ‘Merowahan’. Merowahan merupakan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar proses pembangunan rumah dilindungi atau berjalan dengan mulus.
 
Para tetangga diundang untuk hadir dalam Merowahan. Dalam kesempatan ini ada sesi pihak pengundang memohon kepada tetangga untuk mau secara sukarela membantu proses pembangunan, seperti misalnya, menebang pohon atau meratakan tanah yang dalam istilah bahasa Betawi adalah ‘baturan’. Bantuan tetangga ini disebut juga dengan Nyambat atau Sambatan.
 
Ketika Baturan dilakukan, orang Betawi meletakkan lima bata garam, satu diletakkan di tengah-tengah, empat lainnya diletakkan di pojok tanah. Hal ini dipercaya agar lahan bebas dari mahluk halus atau gaib, yang bisa saja mengganggu proses pembangunan rumah. Kemudian, sebelum tiang guru atau tiang-tiang utama penopang bangunan didirikan, di atas umpak batu (alas tiang guru) diletakkanlah uang ringgit, uang perak atau uang gobangan (uang logam sebagai alat tukar tempo dulu sebelum mata uang sen) agar si pemilik rumah hidup tentram dan selalu punya uang.
 
Selanjutnya adalah pemasangan kaso pada bagian atas rumah. Sebelum dipasang, kebiasaan adat orang Betawi adalah membuat acara selamatan. Dibuatlah bubur merah dan bubur putih sebagai syarat. Bubur-bubur tersebut kemudian diplengsong (dibungkus) dengan daun pisang dan diletakkan di atas tiap-tiap tiang guru. Hal ini merupakan sesajen untuk mahluk gaib agar tidak mengganggu dan tidak menghuni rumah yang sudah dibangun. Prosesi lainnya adalah ‘ketik’ malam sebelum rumah selesai sepenuhnya. Dalam prosesi ini, pemilik rumah tidak diperbolehkan tidur. Hal ini dilakukan demi keamanan bagi keluarga pemilik rumah.

Bujaka - Aplikasi Budaya Jakarta

DINAS KEBUDAYAAN PROVINSI DKI JAKARTA
Jalan Gatot Subroto Kav. 40-41 Lt. 11 dan 12
Kelurahan Kuningan Timur, Kecamatan Setiabudi
Jakarta Selatan
DKI Jakarta, 12950
(021) 252-3164
dinaskebudayaandki@gmail.com