Adat Istiadat

Piara Penganten: Cara Merawat Mempelai Perempuan Menjelang Resepsi Pernikahan

Dalam tradisi pernikahan Betawi jarang sekali ditemukan resepsi dilaksanakan di gedung. Masyarakat Betawi lebih memilih menggelar resepsi pernikahan di rumah sendiri. Alasannya jika diungkapkan dalam bahasa Betawi berbunyi “Biar lebih puas, biar tamu yang datang bisa berlama-lama, biar bisa pada ngobrol dengan tamu-tamu yang jarang ketemu,". Artinya agar semakin banyak tamu yang datang dan berlama-lama di tempat yang punya hajat, saling berbincang.
 
Maka dari itu, bagi calon mempelai perempuan ada adat istiadat yang harus dijalankan, yakni piara penganten atau menjaga calon pengantin khususnya untuk calon mempelai perempuan. Sementara untuk calon mempelai laki-laki tidak ada ritual khusus dalam adat istiadat piara penganten.
 
Biasanya calon mempelai perempuan dilarang mengkonsumsi makanan-makanan yang enak-enak alias mutih. Usahakan makan makanan yang hambar, tanpa garam, tanpa kecap, tidak boleh terlalu manis, tidak makan sayur.
 
Alasannya agar mempelai perempuan tidak lemas pada hari ‘H’ resepsi pernikahan. Sekali melanggar, pengantin akan banjir keringat di hari ‘H’. Selain konsumsi makanan tertentu, biasanya calon pengantin perempuan tidak diizinkan keluar rumah seminggu sebelum hari ‘H’.
 
Kegiatan ini dilakukan untuk menjaga stamina di hari ‘H resepsi pernikahan’. Selama tiga hari sebelum hari ‘H’ pula, calon pengantin perempuan diminta untuk minum jamu yang sudah dibacakan doa. Selama dua hari menjelang hari ‘H’, dilakukan perawatan tubuh, mulai dari pemakaian lulur yang baunya wangi.
 
Biasanya ada orang tertentu yang berprofesi  ‘’perawat pengantin’’ ini. Pengantin tidak asal "dipelihara”, tentunya ada bacaan-bacaan tertentu supaya acara berjalan lancar. Sang perawat pengantin akan memasak air yang dicampur dengan daun pandan. Setelah air matang, dituangkan ke dalam dandang.
 
Nantinya si calon pengantin ini akan duduk di kursi menghadap dandang dalam kondisi bugil dan berselimutkan rapat tikar pandan sambil mengaduk-aduk dandang menggunakan sendok. Ini diperuntukkan mengeluarkan uap dari air panas itu, sehingga memicu keringat keluar dari tubuh calon pengantin perempuan.
 
Jika airnya sudah tidak panas dan keringat dirasa banyak keluar, proses tangas atau “memelihara pengantin” hampir selesai. Kemudian calon mempelai perempuan dimandikan air kembang sambil dibacakan doa lagi oleh sang “pemelihara pengantin”.

Bujaka - Aplikasi Budaya Jakarta

DINAS KEBUDAYAAN PROVINSI DKI JAKARTA
Jalan Gatot Subroto Kav. 40-41 Lt. 11 dan 12
Kelurahan Kuningan Timur, Kecamatan Setiabudi
Jakarta Selatan
DKI Jakarta, 12950
(021) 252-3164
dinaskebudayaandki@gmail.com