Press Release

Dirancang Sebagai Wisata Religi di Jakarta, DISBUD DKI Terbitkan Rekomendasi Pemugaran Masjid Jami Al-Mansur

DIRANCANG SEBAGAI WISATA RELIGI DI JAKARTA, DISBUD DKI TERBITKAN REKOMENDASI PEMUGARAN MASJID JAMI AL-MANSUR
 
SIARAN PERS NOMOR: 2420/SP-HMS/08/2021 15 Agustus 2021
 
JAKARTA BARAT - Masjid Jami Al-Mansur yang terletak di Jalan Jembatan Lima, Tambora, Jakarta Barat akan dipugar. Rencana pemugaran akan dilakukan pada 2021 ini. Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta dengan pertimbangan Tim Sidang Pemugaran telah menerbitkan Surat Rekomendasi Pemugaran No. 4492/-1.853.15 tanggal 26 Juli 2021 kepada pihak Masjid Al-Mansur terkait pekerjaan revitalisasi arsitektural Masjid Jami Al-Mansur Jakarta Barat.

"Penerbitan Surat Rekomendasi Pemugaran sendiri merupakan bagian dari upaya pelindungan terhadap Bangunan Cagar Budaya, diduga Cagar Budaya, ataupun bangunan yang berada di kawasan Pemugaran agar setiap proses pemugarannya tetap sesuai dengan kaidah-kaidah pelestarian. Pelaksanaan pemugaran Masjid Jami Al-Mansur akan dirancang sebagai wisata religi baru DKI Jakarta, bersaman dengan Masjid Al-Alam Marunda, Masjid Jami Luar Batang, dan Gereja (GPIB) Immanuel Jakarta," terang Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, Iwan Henry Wardhana pada Minggu (15/8).

Masjid Jami Al-Mansur adalah Bangunan Cagar Budaya yang telah ditetapkan dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 475 Tahun 1993 tentang penetapan bangunan bersejarah di Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Benda Cagar Budaya, di mana ketika Cagar Budaya akan dipugar maka harus melalui proses sidang dengan Tim Sidang Pemugaran DKI Jakarta.

Masjid Jami Al-Mansur dibangun pada 1717. Hal ini didasarkan atas inskripsi yang terdapat di menara masjid yang bertuliskan tahun 1330 H atau dibangun pada 1717 M. Masjid ini dibangun oleh Abdul Mihit atau Abdul Mukhit, putra Pangeran Cakrajaya dari Kerajaan Mataram Islam. Awalnya, masjid ini bernama Masjid Jami Kampung Sawah yang kemudian berubah nama, dengan mengambil nama Guru Mansur (1878-1967).

Guru Mansur memiliki nama lengkap Muhammad Manshur bin Imma Abdul Hamid yang merupakan piut atau canggah dari Abdul Mukhit. Penyebutan “Guru” bagi masyarakat Betawi diberikan kepada ulama yang diakui sebagai pakar dan kedalaman ilmu agamanya, sehingga diakui otoritasnya untuk mengeluarkan fatwa. Guru Mansur sendiri juga merupakan salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia. Pada 1925, Guru Mansur menentang keras pemerintahan Belanda yang saat itu akan membongkar Masjid Al-Makmur di Cikini. Banyak peristiwa penting bersejarah terjadi di masjid ini. Masjid ini bukan saja berperan penting dalam kegiatan ibadah, namun juga menjadi tempat berlindung para pejuang kemerdekaan. Masjid ini pernah dijadikan markas para pejuang kemerdekaan. Peristiwa penting tersebut terjadi ketika baku tembak antar pasukan pejuang kemerdekaan dengan tentara NICA yang masuk melalui Pelabuhan Sunda Kelapa.

Pada 4 Safar 1186 H, salah satu ulama besar berkunjung ke masjid ini, yaitu Muhammad Arsyad Al-Banjari yang saat itu baru pulang dari Mekkah dan singgah di Betawi. Beliau diminta untuk memperbaiki arah kiblat masjid ini. Pada 1937, Masjid Jami Al-Mansur dipugar dan diperluas pada periode Guru Mansur. Perubahan nama masjid didasarkan untuk menghormati dan mengenang perjuangan Guru Mansur yang dilakukan pada 1967, setelah beliau wafat. Kemudian, pada 1980, Masjid Jami Al-Mansur ditetapkan sebagai Cagar Budaya.

Arsitektur bangunan Masjid Jami Al-Mansur memang tidak terlepas dari ciri-ciri masjid berlanggam Masjid Jawa. Memiliki denah empat persegi dengan atap tajug tumpeng tiga dan diakhiri dengan hiasan berupa mahkota yang merupakan beberapa ciri khas masjid berlanggam Masjid Jawa. Masjid ini mempunyai satu menara yang berada di tenggara masjid. Pada ruang masjid terdapat ceruk kecil yang mengindikasikan arah kiblat ke Mekkah yang disebut mihrab.

Atap tajug tumpeng tiga menjadi unsur penting tidak hanya untuk menjadi pelindung hujan dan panas matahari, namun juga memiliki arti sebagai simbol dan identitas dari perkembangan arsitektur masjid pada masa itu. Atap disangga oleh pilar-pilar kayu. Di antara pilar-pilar kayu tersebut terdapat pilar utama/master yang dikenal sebagai sokoguru. Berdasarkan konsep kosmologi Jawa, atap tajug tumpeng tiga memiliki makna “Imam-Islam-Ihsan” seperti pada ajaran tiga pilar agama Islam. Dalam dimensi esoterik (lahir dan batin), atap tajug tumpeng tiga menyimbolkan “SyariatThariqat-Hakekat-Makrifat”.

Rencananya, pemugaran atau revitalisasi terhadap bangunan Masjid Jami Al-Mansur akan ditata menjadi lebih baik. Tiga unsur utama pada situs, yaitu bangunan utama masjid, makam, dan minaret, akan diperlihatkan pada fasad terdepan. Hal ini agar masyarakat sekitar, jamaah, dan pengunjung dapat mengapresiasinya.

Bangunan masjid yang sekarang sisinya tertutup ini akan dirancang menjadi lebih terbuka dan mudah diakses, agar nilai masjid sebagai masjid komunitas tetap terjaga. Entrance atau pintu masuk utama masjid ini akan dikembalikan kepada bentuk awalnya ketika pertama kali masjid dibangun, yang diperkuat dengan pengelolaan fasad. Begitu pula dengan penambahan-penambahan fasilitas pendukung yang tetap mempertahankan zoning asli masjid.

Press Release Masjid AlMansur.pdf
 
Masjid-Al-Mansur-Jakarta.jpg
Cagar Budaya, Iwan Henry Wardhana, Masjid Jami Al-Mansur, Tambora

 masjid al-masyur 1.jpg
Foto: Rahma Sulistya; Empat soko guru atau tiang utama yang menjadi salah satu ciri khas Masjid Al Mansur

 

                   


Bujaka - Aplikasi Budaya Jakarta

DINAS KEBUDAYAAN PROVINSI DKI JAKARTA
Jalan Gatot Subroto Kav. 40-41 Lt. 11 dan 12
Kelurahan Kuningan Timur, Kecamatan Setiabudi
Jakarta Selatan
DKI Jakarta, 12950
(021) 252-3164
dinaskebudayaandki@gmail.com