Tanjidor

Posted May 8, 2018
Written by
Category Seni Musik

Sesudah hukum perbudakan dihapus pada awal abad ke-19 oleh VOC, para mantan budak yang memainkan orchestra musik tersebar ke seluruh Batavia. Mereka keliling kota untuk mencari nafkah dengan bermusik atau “ngamen” karena sudah tidak bekerja lagi pada tuannya. Inilah yang kemudian dikenal sebagai orkes tanjidor. Akta ini diperkuat oleh ahli musik dari Belanda bernama Ernst Heinz. Dia berpendapat tanjidor berasal dari para budak yang ditugaskan untuk memainkan musik untuk tuannya. Sejarawan Belanda Dr. F. Dee Haan juga menegaskan bahwa orkes tanjidor berasal dari orkes budak pada masa kolonial. Tanjidor juga diduga berasal dari bangsa Portugis yang datang ke Betawi pada abad ke-14 sampai ke-16.

            Pengaruh bangsa Eropa terlihat jelas dari alat-alat musik yang digunakan dalam orkes tanjidor seperti klarinet, piston, trombon, tenor, bas terompet, bas drum, tambur, simbal dan lain-lain. Lagu-lagu yang dibawakan tanjidor antara lain Batalion, Kramton, Bananas, Delsi, Was, Tak-tak, Welmes, dan cakranegara. Judul lagu itu berbau Belanda dan Eropa meski dengan ucapan Betawi. Pada perkembangan selanjutnya, lagu-lagu tradisional Betawi banyak dibawakan seperti Surilang dan Jali-jali.

            Pada era 1950-an orkes tanjidor masih marak, khususnya pada tahun baru Masehi dan Imlek. Dengan telanjang kaki atau bersandal jepit mereka ngamen  dari rumah ke rumah di kawasan elite, seperti Menteng, Salemba, dan Kebayoran Baru. Daerah-daerah yang banyak dihuni orang Belanda. Pada tahun baru China biasanya tanjidor ngamen lebih lama karena tahun baru China dirayakan sampai perayaan Cap Go Meh, yaitu pesta hari ke-15 imlek.

(sumber : Buku Seni Pertunjukan Tradisional Betawi, Arie Budhiman, 2012)