Manifes Kebudayaan

Posted April 18, 2018
Written by
Category Peristiwa

Pernyataan sikap seniman dan budayawan Indonesia di Jakarta pada 17 Agustus 1963 tentang pendirian dan cita-cita politik nasional. Para penandatangan Manifes Kebudayaan menyuarakan bahwa kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia, tanpa mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan lain; dan bahwa Pancasila merupakan falsafah budaya mereka. Presiden Soekarno kemudian menyatakan bahwa Manifes Kebudayaan (MK) menyeleweng dan ingin menyaingi Manifesto Politik (Mei, 1964). Adapun secara lengkap Manifes Kebudayaan adalah :

Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita politik Kebudayaan Nasional kami. Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.

Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional, kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa.

     PANCASILA adalah falsafah kebudayaan kami.
                                                  Jakarta, 1 Agustus 1963

Para penandatangan MK adalah Wiratmo Soekito, H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Arief Budiman, Goenawan Mohammad, Bokor Hutasuhut, Bur Rasuanto, Zaini, Ras Siregar,DS. Moeljanto, Djufri Tanissan, A. Bastari Asnin, Sjahwil, Taufiq Ismail, M. Saribi Afn., Purnawan Tjondronagoro, Hartojo Andangdjaja, Binsar Sitompul dan Boen S. Oemarjati.

Tanggal 8 mei 1964, Bung Karno melarang MK, "Karena manifesto Politik Republik Indonesia sebagai pancaran Pancasila telah menjadi garis besar haluan Negara dan tidak mungkin didampingi dengan manifesto lain apalagi kalau manifesto lain itu menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap Revolusi dan memberi kesan berdiri di sampingnya". Atas nama para pendukung MK, tanggal 10 Mei 1964 Wiratmo Spekoto, H.B. Jassin, dan Trisno Sumardjo, mengirim surat kawat ke Presiden Soekarno yang menyatakan "mematuhi larangan tersebut".

Atas nama para pendukung MK di seluruh Indonesia, tanggal 19 mei 1964 Wiratmo Soekito, H.B. Jassin, dan Trisno Sumardjo mengirim surat ke Presiden Soekarno yang isinya "memohon maaf PYM". Mengenai permintaan maaf ini, Wiratmo Soekito memberi penjelasan demikian, " ... kami minta maaf, karena telah terlambat memenuhi keinginan Pemimpin Besar Revolusi untuk mengubah Manifes, untuk membuat manifesto yang baru. Jadi,jelaslah, bahwa tujuan permintaan maaf itu bukannya untuk mengakhiri larangan Manifes."

Uraian lebih lanjut tentang MK bisa dilihat di majalah Horison terbitan Mei 1967 dan artikel, Arief Budiman, "Kekuatan Politik dalam Kesusastraan Indonesia" dalam Keyakinan dan Perjuangan (1972), Yahya Ismail dalam Pertumbuhan,Perkembangan, dan Kejatuhan Lekra di Indonesia (Kuala Lumpur, 1972), dan Wiratmo Soekito dalam Kesusastraan dan Kekuasaan (1984).