Indonesia, Hotel

Posted April 18, 2018
Written by
Category Bangunan Umum

Didirikan tahun 1959 dengan biaya pampasan perang pemerintah Jepang. Dirancang oleh pasangan arsitek Abel dan Wendy Sorensen dari Amerika, pelaksana pembangunannya dilakukan oleh PT. Pembangunan Perumahan dengan tenaga ahli Indonesia dibantu tenaga ahli dari Jepang. Diresmikan oleh Soekarno tanggal 5 Agustus 1962 dan terletak di JI. MHTharnrin, Jakarta Pusat dan merupakan bangunan bertingkat dan bertaraf intemasional pertama di Indonesia. Pembangunannya dirancang dengan gaya international Style yang populer saat itu. Di masa kejayaan Orde Lama, menjadi hotel kebanggaan Indonesia, khususnya orang Jakarta. Di zaman itu, sebagai bangunan paling tinggi ia merupakan satu-satunya tempat di Jakarta yang tidak pernah mendapat "giliran pemadaman lampu".

Di awal masa Orde Baru, HI menjadi ukuran kelas tersendiri. Orang kaya, pengusaha sukses, pejabat dan pirnpinan structural Orba, juga orang-orang gaul di Jakarta senang sekali memakai HI sebagai lokasi rendenvouz, pusat perayaan dan gedung pertemuan. Mengambillokasi ke Java Room yangdiplesetkan menjadi "warung Jawa" untuk sekedar mencicipi kopi tubruk dan irish coffe, atau mengudap es krim banana split atau milkshake vanilla. Atau menyantap kakap steik dengan kentang goreng, atau mencicipi hidangan hangat nasi goreng spesial, juga menyeruput nikmat bubur ayam menjelang hari subuh.

Di hotel ini pula di pertengahan tahun 1970-an, kerap dilakukan pertunjukkan musik atau teater, atau pula nonton premier film Barat yang di zaman Orla dilarang, yang dilakukan di Ramayana Room itu dan pengunjung harus masuk dengan pakaian sopan atau berbatik lengan panjang. Tentunya suatu ukuran elite kalau mampu ikut acara santap malam yang dinner dengan seragam jas dasi, mendengarkan musik dengan lagu-lagu khas nite club dari pemusik Indonesia kenamaan ataupun pemusik luar negeri d Nirwana Super Club. Dari teras tertinggi di lantai 15, tamu pun dapat menyaksikan wama-wami lampu berkelip-kelip di sekujur kota Jakarta yang sempat dijuluki big village. Bagi muda-mudi zaman paruh kedua tahun 1970-an, Diskotek Guwa Rama di HI itu merupakan ajang dansa dansi beralunan musik disko yang dinamik. Malah kolam renang HI di ruang terbuka menjadi ukuran kemewahan tersendiri sambil minum fruit punch, juga mengganyang daging bakar yang disebut barbeque.

Hotel ini juga menyimpan karya seni yang cukup bersejarah, antara lain mural yang merupakan karya seni rupa publik yang antara lain terdapat di dinding dalam Restoran Ramayana, yang merupakan mural mosaik karya G. Sidharta, pematung kenamaan Indonesia. Juga terdapat mural perayaan keragaman budaya Indonesia yang dikerja-kan oleh Suromo dan Lee Man Fong (yang mengerjakannya bersama Thio Soen Djie, Siauw Swie Ching, Lim Wa Sim dan Lee Kern). Karena dianggap ketinggalan zaman, pada April 2004 hotel bersejarah ini ditutup sementara untuk direnovasi.