Raden Saleh

Posted April 18, 2018
Written by

Pelukis, bernama lengkap Raden Saleh Syarif Bustaman. Lahir di Terbaya dekat Semarang sekitar tahun 1814 dari keluarga aristokrat keturunan Arab. Ia mendapat beasiswa untuk belajar di negeri Belanda tahun 1829, di sana berkenalan dengan kalangan ningrat dari banyak istana di Eropa, khususnya dengan Grojbherzog von Sachsen-Corburg-Gotha. Raden Saleh menerima gelar ksatria Belanda, Austria dan Prusia. Dialah pelukis Indonesia yang paling berbakat dan berhasil pada abad ke 19. Sekembalinya di Jawa dari Eropa pada tahun 1851, ia menetap di Batavia, di sebuah rumah bergaya gotik yang dirancang sendiri dan dibangun di daerah Cikini. Ia banyak melukis dalam gaya romantis dengan komposisi dramatis. Banyak lukisannya diterima ke dalam aneka koleksi kerajaan maupun pribadi di Eropa, khususnya di berbagai Museum di Amsterdam. Lukisannya yang terkenal antara lain: Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857) dan Berburu Banteng (1851) yang disimpan di Puri Bhakti (kompleks Istana).

Raden Saleh adalah pelukis Jawa pertama yang secara sistematis menggunakan cat minyak dan mengambil teknik-teknik Barat: realisme pada potret, pencarian gerak, perspektif dan komposisi berbentuk piramid dsb. Kini ia dikenal sebagai "bapak" ilmu seni lukis Indonesia. Sebagian masyarakat seni rupa (ahli sejarah, kritikus, praktisi, pecinta seni) menyebut bahwa seni lukis Indonesia modern diawali sejak Raden Saleh (1807-1880), yang berkiprah pada pertiga abad ke-19. Sebagai cicit Sayid Abdullah Bustam dan putra Sayid Husein bin Yahya, Raden Saleh selama di Maxem, Jerman mendirikan sebuah mushola bertuliskan basmalah dalam bahasa Jerman dan Jawa. Sementara di dekat kediamannya di Cikini ia juga membangun sebuah surau (1860). Setelah beberapa kali tergusur surau tersebut kini menjadi masjid Cikini, yang dapat menampung lebih 1000 jamaah.

Sebagai penyayang binatang, Raden Saleh mendirikan kebon binatang pertama di Cikini, yang masih merupakan bagian dari tanah kediamannya. Kebon Binatang ini pada masa gubernur Ali Sadikin akhir 1960-an dipindahkan ke Ragunan, Jakarta Selatan. Kediamannya di Cikini terbentang dari TIM, dua bioskop (Garden Hall dan Podium), kolam renang Cikini, hingga SMP I Cikini, yang dulunya merupakan pintu gerbang untuk masuk ke kediamannya. Ketika pindah ke Bogor, pelukis ini menjual rumah beserta tanahnya pada Sayid Abdullah bin Alwi Alatas, pemilik gedung Museum Tekstil di Jatipetamburan, Jakarta Pusat. Kemudian rumah dan tanah yang luas itu dijual pada Koningen Emma Ziekerhuis (Yayasan Ratu Belanda Emma), dengan harga 100 ribu gulden.Mengetahui rumah dan tanah akan dijadikan rumah sakit, Abdullah Alatas memotong harga penjualan jadi 50 ribu gulden. Ketika Indonesia merdeka, yayasan ini menyerahkannya kepada RS PGI Cikini.

Ketika terjadi kerusuhan di Bekasi pada 1869 oleh kelompok Islam, Raden Saleh dituduh turut mendalanginya. Kediamannya digeledah, setelah dikepung 50 serdadu bersenjata lengkap. Pelukis ini meninggal di Bogor tahun 1880 dan dimakamkan di Jl. Bondongan (kini Jl Pahlawan). Bersebelahan dengan makam istrinya RA Danurejo, putri dari Kesultanan Mataram.