Abdul Haris Nasution

Posted April 18, 2018
Written by

Tokoh militer dan politik Indonesia, salah satu Jenderal Besar TNI dengan bintang lima, penulis sejarah militer, dan pemikir di bidang kemiliteran. Ia juga sering disebut sebagai konseptor sistem teritorial dan dwi fungsi ABRI. Pada masa kebangkitan Orde Baru, Nasution mempunyai peranan yang penting. Lahir di Kotanopan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918.

Pada masa kanak-kanak Nasution masuk Hollands Inlandse School (HIS) di Kotanopan. Pada sore harinya Nasution masih belajar di madrasah yang dipimpin oleh ayahnya sendiri, H. Abdul Halim Nasution. Pada tahun 1931 ketika memasuki kelas 7 HIS, Nasution menetap di Kotanopan. Setamat dari HIS, Nasution diterima di Holland Inlandse Kweekschool (HIK) di Bukit tinggi, sekolah guru yang orang sana menyebut "Sekolah Raja". Sebenarnya orang tua Nasution merasa berat membiayai sekolahnya karena tahun itu adalah permulaan masa Malaise atau masa sulit ekonomi akibat merosotnya harga karet dan kopi. Tiga tahun Nasution belajar di sekolah ini dan ia adalah angkatan terakhir karena sesudahnya sekolah ini ditutup karena pemerintah pemerintah Belanda mulai menjalankan politik penghematan.

Masa tugasnya sebagai panglima Siliwangi bagi Nasution merupakan tonggak dalam kehidupan pribadinya. Ia melamar Sunarti, putri Oondokusumo yang sudah dikenalnya sejak menjadi taruna Akademi Militer di tahun 1940. Sunarti dinikahinya tanggal 30 Mei 1947 hingga lahirlah dua orang putri. Putri pertama lahir tahun 1952 dan yang kedua lahir tahun 1960. Putri yang nomar dua ini, Ade Irma Suryani Nasution, tewas pada usia lima tahun ketika pasukan yang terlibat dalam Peristiwa G30S menjarah rumah kediamannya pada 30 September 1965.

Setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada RI, Nasution diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) RIS dengan pangkat kolonel. Saat Nasution berada di Jakalta sebagai KSAD RIS inilah untuk pertama kalinya ia memperoleh kesempatan berkunjung ke luar negeri, yakni mengikuti rombongan Presiden Soekarno ke India untuk menyampaikan terima kasih pemerintah dan rakyat Indonesia kepada bangsa India atas dukungan dan bantuannya pada perjuangan Republik Indonesia.

Masa 1950 sampai 1960-an merupakan masa pemberontakan dari dalam negeri. Dari Darul Islam (DI), APRA, RMS, PRRI sampai Permesta. Ia menyebut periode ini sebagai periode "anti gerilya". Sebagai akibat dari usaha sentralisasi dan demobilisasi militer pada masa Kabinet Wilopo, TNI AD mengalami perpecahan. Ia berada di pihak yang menyokong kebijaksanaan pemerintah pusat. Usaha demobiJisasi ini temyata tidak
Abdul Halim Perdanakusuma. Perintis dan Pembina Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) didukung oleh kalangan militer di daerah yang sebagian besar berasal dari PETA. Namun karena Presiden Soekarno ketika itu lebih condong ke faksi militer di pusat, pada tanggal 17 Oktober 1952, faksi militer yang prodemobilisasi mengadakan demontrasi di halaman istana presiden menuntut segera diatasinya krisis dalam AD ini. Akibat peristiwa 17 Oktober 1952 tersebut Presiden Soekarno menggantikan beberapa pimpinan AD di pusat, salah satu diantaranya adalah Nasution. Selama tiga tahun ia non aktif dalam kepemimpinan AD, baru tahun 1955 ia diangkat kembali dalam jabatan KSAD pada tahun 1955.

Tahun 1961, dalam perjuangan mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Indonesia dibentuk Komando Operasi tertinggi (KOTI). Soekarno menjadi panglima tertinggi KOTI dan Nasution wakilnya. Sedang Ahmad Yani diangkat menjadi KSAD. Akibat pengaruh PKI dan dukungan tokoh-tokoh militer pro-PKI seperti Omar Dhani, Presiden Soekarno berusaha membatasi pengaruh Nasution yang populer di kalangan TNI. Nasution didudukkan dalam pos departemental sebagai Menteri Pertahanan Keamanan, suatu posisi yang tidak langsung berhubungan dengan komando militer.

Tanggal 16 September 1965 Oemar Dhani bertolak ke Cina secara rahasia atas instruksi Soekarno untuk membicarakan kemungkinan bantuan militer Cina tanpa diketahui oleh Nasution sebagai Menteri Pertahanan. Tanggal 27 September 1965, Kepala Staf Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani dengan tegas menolak usul pembentukan angkatan kelima dan nasakomisasi semua struktur militer. Maka pada malam 30 September - 1 Oktober 1965, terjadilah pembunuhan terhadap beberapa jenderal Angkatan Darat di bawah komando Letkol Untung. Pada peristiwa itu, Jenderal Ahmad Yani tewas bersama lima jendral lainnya, tetapi Nasution berhasil meloloskan diri.

Sebagai purnawirawan Nasution mengisi waktunya dengan kegiatan menulis sejarah, khususnya sejarah TNI. Di dunia tulis-menulis Nasution memang telah memperlihatkan bakatnya sejak tahun 1948, dan disela-sela kesibukannya sebagai pemimpin TNI Nasution masih sempat menulis beberapa buku. Di antara karya-karya
Nasution yang terpenting adalah Pokok-pokok Gerilya, Catatan-catatan Sekitar Politik Militer Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, Kearyaan ABRI, Sekitar Perang Kemerdekaan (11 jilid). Ia juga menulis memoar dengan judul Memenuhi Panggilan Tugas (7 jilid). Di bidang pendidikan, Nasution aktif sebagai ketua Yayasan Perguruan Cikini. Meninggal di Jakarta, 6 September 2000 dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.